facebook

Pages

Kamis, 25 November 2010

Digital Demokrasi

Demokrasi Digital

Ilustrasi/Admin (Shutterstock)

Ilustrasi/Admin (Shutterstock)

Dimana dalam arti tertentu partisipasi publik dimanifestasikan melalui media teknologi - contoh internet. Barry N. Hague dalam pengantar buku antologi tentang diskursus demokrasi elektronik (1999) menjelaskan beberapa unsur demokrasi yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi digital. Di antaranya adalah: sifatnya yang interaktif; proses interaktif mengandaikan adanya komunikasi yang bersifat resiprokalitas, semua warga negara bisa berdialog secara interaktif.

Lalu lewat demokrasi digital juga dijamin Kebebasan berbicara; sehingga pengguna internet atau teknologi informasi dapat mengekspresikan dirinya tanpa kontrol yang signifikan dari penguasa. Setiap warga negara misalnya bisa secara diskursif mengetengahkan gagasan-gagasannya yang paling gila sekalipun. Selain itu terbentuknya komunitas virtual yang peduli terhadap kepentingan publik dan komunikasi global yang tidak terbatas pada satu negara-bangsa. Lewat demokrasi digital juga informasi atau kajian politik dapat diproduksi secara bebas dan disebarkan ke ruang publik virtual untuk diuji.

Melihat paparan Barry N. Hague tersebut di atas adalah jelas bahwa demokrasi digital menekankan partisipasi dalam ruang publik virtual. Sehingga diskursus sepenuhnya dimanifestasikan secara bebas dalam demokrasi digital; lewat surat elektronik, newsgroup, milis, live discussion, website dan bentuk-bentuk lain dari perkembangan TI yang dapat disesuaikan. Berawal dari sini dipahami bahwa ada semacam dialektika antara teknologi dan masyarakat. Dialektika ini menghasilkan satu terma yang bernama demokrasi digital.

Di dalamnya setiap orang bebas mengungkapkan pendapatnya secara langsung. Karena itulah demokrasi digital dapat dikatakan mempunyai bentuk yang kira-kira sama dengan demokrasi yang dipraktikan pada zaman Yunani dan Roma kuno. Selain lewat teknologi informasi, seperti kita ketahui ruang publik juga disediakan oleh industri media massa seperti televisi, radio, koran atau majalah.

Monopoli

Namun bila kita cermati sungguh media massa bukanlah tempat yang memadai untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan semua warga negara. Karena ada monopoli komunikasi dan informasi di dalamnya. Kita tidak menemukan ruang yang sifatnya adil dan partisipatif. Jelaslah industri media massa tidak cukup menyediakan ruang publik yang bebas bagi setiap warga negara. Kita semua sama-sama ketahui bagaimana opini publik dapat diarahkan oleh media massa. Tentu ini menyadarkan kita bahwa media massa (kepemilikan media) belumlah sepenuhnya memberikan semacam diskursus dan pendidikan tentang demokrasi itu sendiri.

Manuel Castells, ahli sosiologi urban, menyebut hal tersebut di atas sebagai depolitik media. Politik media merupakan politik elit industri media massa yang menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan publik. Pendapat atau opini misalnya dibahasakan searah dengan kebijakan yang mendukung egosentrisme ekonomi. Akhirnya dapat kita pahami bahwa dinamika demokrasi belum hadir secara utuh dalam ruang publik yang disediakan oleh industri media massa (televisi, radio, koran, majalah). Karena kita semua tahu itu politik media membahasakan opini secara ideologis, sesuai dengan kepentingan golongan dan di atas semua itu adalah kepentingan modal (ekonomi).

Tak heran juga, jika dunia digital dan media elekronika lainnya seperti televisi, video, video game, film, komputer, internet adalah dunia yang di dalamnya dikembangkan citra-citra kekerasan dan agresivitas, yaitu dunia santet, dukun, mistik, perkosaan, kriminalitas, robot, monster, alien, iblis, cyborg, super-hero, bencana nuklir, dan persenjataan hi-tech yang macho.19 Yang banyak muncul di dalam media kita adalah tema-tema ideologis mistisisme, militerisme, seksisme, dan teknokratisme, yang di dalamnya dieksplorasi perasaan alienasi dan ketidakberdayaan manusia (powerlessness), sebuah dunia yang penuh permusuhan, kebencian, persaingan, dan kecabulan.

Kecabulan dan pornografi di dalam media-lewat ekspose pantat, payudara dan paha-adalah salah satu dari bentuk ‘kekerasan simbolik’ itu, oleh karena di dalamnya ada unsur ‘pemaksaan dan kekerasan terhadap keyakinan orang lain’, terhadap ‘ruang-ruang pribadi’ orang lain. Dunia media yang bermuatan makna-makna agresivitas tersebut itu hanya akan semakin mendorong kecerdasan destruktif (destructive intelligence), yang menjauhkan bangsa ini dari kecerdasan merasakan, berempati, dan bersosial.

Konsep

Pada zaman elektronik, konsep virtual mempunyai banyak arti. Selain dalam arti seperti tersebut di atas, dunia virtual juga sering disebut sebagai sebagai dunia simulasi; seperti yang dihadirkan oleh sinema atau komputer grafik. Ada pandangan lainnya yang mensejajarkannya dengan ruang saiber atau internet.

Ada juga yang memahami dunia virtual sebagai informasi (teks) dan imagi yang dihadirkan oleh media (televisi, majalah atau koran), yang virtual dalam konteks ini merupakan (re)- presentasi dari dunia aktual. Yang aktual divirtualkan. Sebenarnya dari semua definisi di atas dipahami adanya satu kesamaan, bahwa yang virtual tak pernah hadir begitu saja ia selalu dikonstruksikan, manusia selalu memvirtualisasikan kenyataan. Proses virtualisasi bukanlah sesuatu yang sifatnya alamiah. Karena ia mengandaikan sebuah upaya menampilkan kembali secara etis, politis, dan estetis segala yang aktual (kenyataan sesungguhnya) ke dalam sebuah medium.

Karenanya wajar bila ada asumsi yang mengatakan bahwa dunia kehidupan sekarang terangkum dalam sebuah layar. Seseorang bisa saja melihat sesuatu secara langsung (real time) kejadian yang terjadi di belahan dunia lain. Untuk memperluas cakrawala perseptual, kita hanya memerlukan mata dan pikiran saja. Asumsi inilah yang mengantarkan kita pada sebuah ide tentang mutasi ontologi dalam sejarah kehidupan manusia.

Realitas bergerak dinamis, walalaupun kita tidak menggerakkantubuh. Kerlap-kerlip televisi (dan tentunya juga internet) dalam setiap rumah misalnya telah menyediakan ruang secara virtual dan aktual sekaligus.

Demikian juga ketika realitas hilang dalam gelap bioskop. Manusia berkerumun dan secara bersama-sama merasakan ekstase sinematik, merasakan emosi-emosi temporal (artifisial) yang distimulasi oleh gambar bergerak. Industri film yang telah menyebar sampai ke pelosok-pelosok negeri jelaslah memberikan sebuah gambaran betapa manusia tak puas dengan hidupnya yang biasa-biasa saja.

Menonton film misalnya menjadi semacam ritus, manusia seperti ingin lari dari kenyataan, bukan mempelajarinyah demikian kata Rosalind William dalam bukunya The Dream World: Mass Consumption in Late Nineteeenth-Century.

Sekarang keterasingan tampaknya sudah mulai dijinakkan oleh penyebab keterasingan itu sendiri (relasi produksi). Kini kekuasaan kapitalis telah mengimunisasikan dirinya dan menguatkan cengkeramannya dengan memproduksi sesuatu yang dapat menangkal keterasingan yang diidap masyarakat pos-industri; yakni film.

Industri film (dan hiburan) juga telah merekam roh zaman - dengan mengartikulasikan, atau merepresentasikan sejarah secara dramatik dan artistik. Sejarah dalam arti tertentu divirtualkan lewat alat-alat teknologi. Inilah yang membuat Baudrillard secara profetik mengatakan tentang adanya semacam zaman di mana film dan sejarah menjadi tak terpisah dan terdefinisikan. Yaitu ketika kita tidak bisa mengetahui apakah gambar bergerak yang ditampilkan dalam film Ben-Hur si pangeran Yahudi itu ada pada zaman modern atau pada zaman kekaisaran Romawi awal abad Masehi. Ada semacam skizofrenia sejarah dalam virtualitas yang dihadirkan lewat film. Dalam internet, yakni cyberspace, virtualitas menemukan bentuk sejatinya. Seseorang dalam ruang ini tidak saja menjadi penerima pasif informasi atau imagi (seperti dalam film atau acara televisi), tapi ia juga dapat dengan aktif memproduksinya; bahkan seseorang dapat memvirtualisasikan dunia dirinya.

Ruang ini secara etis dan politis memang kacau balau, tapi tak dapat dimungkiri di sinilah kita mengerti secara tentatif apa itu kebebasan - dalam arti anarki atau kebebasan absolut. Kebebasan dikatakan ada dalam ruang cyber karena memang dalam ruang ini tak ada relasi kekuasaan yang menentukan sesuatu secara etis, estetis dan politis. Dari yang suci sampai yang terkutuk ada dalam ruang ini. Virtualisasi kenyataan dalam sinema, televisi atau internet dalam arti tertentu memang telah mengaburkan cara pandang manusia tentang dunianya. Yang aktual misalnya secara ontologis bisa melebur dengan yang virtual lewat teknologi satelit. Karenanya ia mempunyai efek yang cukup mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

Bagaimana ia secara etis mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat adalah virtualisasi teror. Virtualisasi teror terjadi ketika keadaan takut dan trauma akibat aksi teroris dihadirkan, disebarkan, dan gemakan kembali oleh media informasi; sehingga tercapailah tujuan utama dari teror. Wajarlah bila Derrida mengatakan, dalam penafsiran Giovanna Borradori (dalam bukunya Philosophy in a Time of Terror), bahwa media, juga kekuasaan politik tentunya, punya andil dan tanggung jawab untuk mereduksi dan menyebarkan teror.

Derrida dalam hal ini sebenarnya mencoba menyampaikan bahwa esensi dari teror adalah ketakutan yang digemakan dan disebarkan. Inilah yang dipercaya olehnya sebagai semasa depan terorisme; yakni serangan-serangan virtual. Serangan virtual tentu tidak hanya informasi mencekam tentang bencana teror saja, tapi juga banyak lainnya.

Misalnya rekayasa kultural guna mendukung laju dan kepentingan pasar global yang semakin hari semakin menjauhi nilai-nilai keadilan melalui film atau acara televisi. Dari sinilah kita ketahui bahwa virtualitas telah menjelma menjadi kekuatan yang menentukan nilai-nilai, atau, katakanlah, lokus utama diskursus. Ia dalam beberapa hal merupakan cermin yang memantulkan (yang terkadang membiaskan) gambaran kondisi masyarakat.

Fungsi

McQuail mengemukakan fungsi-fungsi media massa sebagai pemberi informasi, pemberi identitas pribadi, sarana intergrasi dan interaksi sosial dan sebagai sarana hiburan (Denis McQuail, 2000).

Selain sebagai pemberi informasi media massa juga berfungsi sebagai pemberi identitas pribadi khalayak. Sebagai pemberi identitas pribadi, media massa juga berfungsi sebagai model perilaku. Model perilaku dapat kita peroleh dari sajian media. Apakah itu model perilaku yang sama dengan yang kita miliki atau bahkan yang kontra dengan yang kita miliki. Selain berfungsi menjadi model perilaku, sebagai pemberi identitas media massa juga berfungsi sebagai sarana untuk mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). Manusia memiliki nilai-nilai hidupnya sendiri yang pada gilirannya akan ia gunakan untuk melihat dunia. Namun manusia juga perlu untuk melihat nilai-nilai yang diciptakan oleh media. Seperti yang kita ketahui, media membawa nilai-nilai dari seluruh penjuru dunia. Implikasinya adalah konsumen media dapat mengetahui nilai-nilai lain di luar nilainya.

Fungsi lain media massa sebagai pemberi identitas, dimana media merupakan sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai diri sendiri. Untuk melihat serta menilai siapa, apa dan bagaimana diri kita, pada umumnya dibutuhkan pihak lain. Kita harus meminjam kacamata orang lain. Media dapat dijadikan sebagai salah satu kacamata yang dipergunakan untuk melihat siapa, apa serta bagaimana diri kita sesungguhnya. Bersosialisasi dengan orang lain di saat kita tidak berusaha untuk mengadakan komunikasi dengan orang tersebut merupakan hal yang sulit.

Di lain pihak, akan sulit bagi kita untuk berkomunikasi dengan orang lain apabila kita tidak mengetahui topik apa yang bisa digunakan untuk membangun komunikasi dengan orang tersebut. Media membantu kita dengan memberikan berbagai pilhan topik yang bisa digunakan dalam membangun dialog dengan orang lain. Hal ini pada gilirannya menjadikan media massa sebagai sarana integrasi dan interaksi sosial berfungsi untuk penyedia bahan percakapan dalam interaksi sosial. Media massa memungkinkan seseorang untuk dapat mengetahui posisi sanak keluarga, teman dan masyarakat. Baik posisi secara fisik, secara intelektual maupun secara moral mengenai suatu peristiwa.

Fungsi media massa yang satu ini biasanya dapat dilihat pada surat untuk redaksi, kolom pembaca dan yang sejenis. Pada multimedia fungsi ini menjadi sangat menonjol karena kita dimungkinkan untuk berinteraksi langsung dengan orang lain dalam waktu relatif lebih cepat.

Fungsi media massa sebagai hiburan. Berkaitan dengan itu media massa menjalankan fungsinya sebagai pelepas khalayak dari masalah yang sedang dihadapi. Rasa jenuh di dalam melakukan aktivitas rutin pada saat tertentu akan muncul.

Di saat itulah media menjadi alternatif untuk membantu kita di dalam melepaskan diri dari problem yang sedang dihadapi atau lari dari perasaan jenuh. Khalayak juga memperoleh kenikmatan jiwa dan estetis dari mengkonsumsi media massa. Manusia tidak saja perlu untuk memenuhi kebutuhan fisiknya, namun ia juga harus memenuhi kebutuhan rohaninya, jiwanya. Kebutuhan ini dapat terpuaskan dengan adanya media massa. Media massa memenuhi kebutuhan tersebut dengan sajian yang menurut media yang bersangkutan dapat dinikmati dan memiliki nilai estetika.

Media massa juga dapat berfungsi sebagai pengisi waktu, dimana ini juga termasuk fungsi media massa sebagai sarana hiburan bagi khalayak. Kadang orang melakukan sesuatu tanpa ada tujuan. Mengkonsumsi media massa tanpa memiliki tujuan adalah salah satunya. Dalam penyaluran emosi. Ini merupakan fungsi lain dari media massa sebagai sarana hiburan. Emosi pasti melekat dalam diri setiap manusia. Dan layaknya magma yang tersimpan di dalam perut bumi, emosi ada saatnya untuk dikeluarkan. Emosi butuh penyaluran, dan salah satu salurannya adalah dengan mengkonsumsi media massa atau bahkan memproduksi media yang senada dengan emosinya.

Berdasarkan fungsi-fungsi media massa yang telah dijelaskan sebelumnya, maka dapat dikatakan pula bahwa media massa memiliki peran di dalam menciptakan apa yang disebut dengan daya tarik seks (sex appeal). Mengenai hal ini dapat diasumsikan bahwa fungsi media massa sebagai salah satu sarana pembangkit gairah seks adalah fungsi yang paling dapat menjelaskan mengapa media massa dipandang berperan di dalam menciptakan apa yang berkaitan dengan seks. Entah itu standarisasi daya tarik seks yang perlu dimiliki seseorang, apa yang perlu dilakukan untuk mendapat daya tarik seks yang tinggi, apa yang akan didapat dengan memiliki daya tarik seks tertentu, dan sebagainya.

Model-model yang ditampilkan pada sebuah majalah, misalnya, bisa diartikan sebagai bagian upaya media massa di dalam mengatakan apa yang mereka nilai sebagai orang yang memiliki daya tarik seks. Seperti yang kita lihat, majalah-majalah tidak sembarangan di dalam memilih model yang akan dijadikan model sampulnya. Ada semacam kriteria tertentu yang harus dimiliki model tersebut agar ia dapat ditampilkan oleh majalah yang bersangkutan.

Memang, daya tarik seks pada umumnya sering disamakan dengan daya tarik fisik pria atau perempuan. Bentuk tubuh, wajah, bibir, rambut, dan sebagainya yang menyangkut fisik adalah kriteria yang digunakan untuk mengukur daya tarik seks seseorang.

Namun ternyata ada hal lain selain daya tarik fisik yang diperlukan untuk membentuk daya tarik seks. Karisma, tingkat intelektual yang tinggi, kesuksesan, dan kemapanan secara materi, merupakan beberapa diantara hal yang bisa dikategorikan sebagai unsur yang menjadikan seseorang memiliki daya tarik seks. Kesemua ini pada gilirannya akan bermuara pada konsumerisme dan hedonisme.

Materi apa yang dikatakan oleh media massa sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik seks akan mendorong khalayak untuk memiliki gaya hidup konsumtif karena media massa memiliki kekuatan untuk menawarkan apa yang saat ini sedang tren, apa yang saat ini dicari orang, apa yang saat ini harus dimiliki orang, dan berbagai pikiran yang sejalan dengan itu, termasuk menentukan apa yang harus dimiliki khalayak untuk dapat memiliki sex appeal.

Begitu juga dengan apa yang melekat pada orang-orang yang memiliki sex appeal, dapat mendorong orang kepada gaya hidup hedonis. Ketika ada ABG mengecat rambutnya menjadi merah, banyak orang terperanjat dan bergumam, “Korban iklan apa lagi?” Maka, warna rambut pun menjadi obrolan orang tua karena itu adalah dagangan ‘gaya hidup’ terkini. Saya pun pernah terkena giliran. Saat seorang keluarga tergiur kosmetik pemutih kulit, saya pun berteriak sama, “Korban iklan apa lagi?” Tapi itulah. Walaupun krisis masih melanda negeri ini, ribuan remaja terus saja jadi korban iklan.

Dan mereka pun tiba-tiba mendambakan rambut warna-warni, kosmetik dan parfum berganti-ganti, handphone bermacam seri, dan impian mobil mewah keluaran terkini. Welcome to Consumer Society!. Tumbuhnya masyarakat pasar-industri (the market-industrial society) dalam konteks kapitalisme modern ternyata telah membawa perubahan radikal dalam kehidupan masyarakat.

Sejak revolusi industri yang membawa pelipatgandaan barang-barang yang dikonsumsi manusia, untuk pertama kalinya, masyarakat hidup dikelilingi oleh beragam komoditas barang dan jasa dalam jumlah dan keragaman luar biasa.

Walaupun awalnya, barang-barang yang diproduksi lebih merupakan duplikasi dari apa yang digunakan di dalam rumah, inovasi dalam produksi modal industri semakin lama membanjiri pasar, memberikan aneka pilihan, jauh melampaui sekadar kebutuhan dasar (basic needs) yang diperlukan. Industri dalam kapitalisme modern memiliki kemampuan menciptakan ‘kebutuhan-kebutuhan baru’ dalam kehidupan. Akibatnya, masyarakat sering kali dihadapkan pada tawaran-tawaran kebutuhan menarik yang mereka sendiri awalnya tak merasa pasti benar-benar membutuhkannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar